counter

Senin, 11 Mei 2015

WINARTI-UTS MEMBACA MENULIS PERMULAAN



SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER

1.      Dalam pembelajaran literasi AUD, salah satunya diperlukan lingkungan yang literat untuk mendukung pengalaman literasi yang baik bagi anak.  Berikan analisis dan pemahaman anda mengenai hal itu!
Jawaban:
Children in pre-school ages is called golden ages. Golden agesis age when brain cells of children grow up very fast. Golden ages happened in children ages 0-6 years old. Stimulation has giving by parents and environment will support their literacy ability. For make a children with a good reading ability, parent should be give good stimulation in their early age. Golden ages is ideal age for parent give them all of literacy stimulation.


Lingkungan literat merupakan lingkungan yang kaya akan bahasa tulis. Dimana anak dapat memahami dan mengerti tentang bahasa tulis berdasarkan pengalaman langsung yang ditemui anak dari lingkungan di sekitarnya baik dirumah maupun di sekolah.

Lingkungan literat ini dapat di dukung dari stimulasi yang diberikan orang tua kepada anak. Anak dapat aktif belajar literasi karena anak memiliki keluarga (orang tua) dan lingkungan yang mendukung dalam proses pengembangan literasinya. Untuk itu peran orang tua sangatlah penting untuk perkembangan bahasa-tulis anak usia dini.

Mengapa peran orang tua penting? Karena orang tua adalah orang yang pertama kali dikenal anak, orang yang pertama kali dikenal dalam hidup anak sewaktu ia lahir ke dunia. Orang tualah yang pertama kali memperkenalkan lingkungan literat kepada anak. Menurut (Teale dan Sulzby, 1989) dalam Burns (1996) mengatakan bahwa pengalaman awal bahasa tulis dapat muncul pada tahun pertama kehidupan, seperti bermain dengan blok alfabet dan mendengarkan cerita yang dibacakan, meletakkan dasar selama proses belajar membaca dan menulis.

Stimulasi mendorong pemerolehan atau akuisisi yakni membentuk penguasaan simbol tulis secara alami. Stimulasi memiliki makna: mendorong minat baca, menyediakan lingkungan literat yang siap dieksplorasi oleh anak, menumbuhkan kesadaran fonemik, mendorong munculnya kesadaran grafofonemis, untuk bekal membaca. Literasi sejak dini dianggap memberikan pondasi untuk pembelajaran literasi di taman kanak-kanak. Satuan ide-ide mengenai bagaimana anak-anak belajar membaca, menulis, dan memahami bahasa tertulis didasarkan pada teori, penelitian, dan latihan (Baker, Fernandez-Fein, Scher,& William, 1998; Campbel, 1998; National Early Literacy Panel, 2004). Dengan stimulasi yang baik dan menyenangkan akan membuat anak merasa nyaman. Kesadaran dan motivasi ini, bersama dengan materi literasi, kegiatan, dan dukungan orang dewasa dikombinasikan untuk mengembangkan apa yang kita sebut Literasi Dini (Dickinson & Tabor, 2001; Morrow, 2001).

Keterlibatan orang tua pada proses pengenalan literasi dapat diberikan dengan cara berinteraksi dengan anak. Penyediaan lingkungan literat untuk anak dapat dilakukan orang tua dengan hal-hal sederhana yaitu dengan memberika labelling pada setiap benda yang ada dirumah. Walaupun anak belum bisa membaca-tulis dan bekum bisa mengerti apa maksudnya namun secara tidak langsung anak sudah mengenal proses literasi itu sendiri. Dengan kebiasaan anak dalam membaca labelling-labelling yang ada maka anak akan bisa memahami dengan sendirinya proses baca tulis itu. Jika anak sudah terbiasa dengan lingkungan yang literat, mudah-mudahan anak dapat mencintai membaca dan menulis sejak dini.

Di indonesia sendiri rendahnya minat baca juga dibuktikan dari indeks membaca masyarakat Indonesia yang baru sekitar 0,001, artinya dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi. Angka ini masih sangat jauh dibandingkan dengan angka minat baca di Singapura yang memiliki indeks membaca sampai 0,45 (Suyoto, 2010).

Haringey dalam penelitiannya menyebutkan bahwa prestasi membaca anak dipengaruhi oleh intervensi yang dilakukan oleh orang tuanya. Keterlibatan orang tua dalam proses pengembangan literasi anaknya, memberikan kontribusi besar pada perolehan prestasi keaksaraan (Haringey,1980).

Lingkungan literat ini sendiri tidak hanya diberikan oleh orang tua saja. Namun perlunya dukungan dari pihak sekolah. Sekolah dapat memberikan lingkungan literat bagi anak dengan hal-hal yang sederhana juga yaitu dengan memberikan label pada setiap benda atau apapun baik yang ada di kelas ataupun di luar kelas.

Di tempat P4KA saya, di TK Kartika II-27 Bandar Lampung. Disana sudah menggunakan proses labelling pada setiap benda baik yang di dalam maupun di luar kelas. untuk di dalam kelas guru memberikan label pada setiap pajangan. Untuk di luar kelas, seperti di pohon mangga terdapat tulisan “M a n g g a”. Lalu terdapat banyak bacaan-bacaan yang dibuat dengan pigura seperti pajangan, papan visi misi, dll.

LAMPIRAN GAMBAR DI LUAR KELAS









 


LAMPIRAN GAMBAR DI DALAM KELAS










 

2.      Ada empat perspektif yang mengkaji perkembangan literasi anak usia dini secara berbeda. (a) Kaji serta analisis ke empat perspektif tersebut, lalu berikan gambarannya. (b) Kembangkan salah satu dari perspektif literasi tersebut dalam strategi pembelajaran literasi (membaca atau menulis) bagi anak usia dini.
Jawaban:
a)      Dalam cara mengajarkan literasi dikenal dua cara berbeda yaitu:
·         Berorientasi Holistik atau disebut top-down approach/big book/whole language/contemporer,
Holistik memfokuskan literasi sebagai aktivitas sosial yang bermakna dalam rutinitas sehari-hari sehingga kurang memperhatikan komponen dalam pengajaran dan pengukuran membaca.

·         Berorientasi pada Komponen atau sering disebut sebagai bottom-up approach/code base approach/phonics/tradisional/skill.
Literasi dapat dipandang sebagai hasil dari berbagai komponen keterampilan yang penting seperti kesadaran fonologis, pengetahuan huruf, kecepatan membaca urutan huruf.

Pengenalan bahasa tulis model tradisional ini didasarkan pada kebiasaan mengajar yang turun temurun. Guru tidak mengerti landasan pendekatan model. Model ini dimulai dari hafalan huruf, menyebutkan huruf demi huruf, mengeja huruf-huruf yang dirangkai menjadi suku kata, mengeja huruf demi huruf dalam sebuah kata. Tidak penting apakah bentuk yang dieja anak mengandung makna atau tidak.

Model tradisional menekankan membaca pada anak sebagai kemampuan mengeja, melafalkan tulisan secara benar. Kemampuan menangkap pesan belum menjadi prioritas model ini. Bentuk-bentuk yang dieja anak adakalanya tidak bermakna. Model ini menekankan menulis sebagai kemampuan menuliskan huruf yang didiktekan guru, menuliskan suku kata, dan kata. Menulis dilakukan terpisah dari membaca, dan menitikberatkan pada kemampuan reversability atau mengubah ujaran ke dalam tulisan. Model ini sering mendorong pendidik untuk melakukan drill dan mengandalkan retensi memori dalam proses drill tersebut.

Model tradisional ini menurut saya dapat membuat anak tertekan. Inilah pengalaman yang saya alami ketika awal masuk di sekolah dasar. Guru saya menganggap semua murid dikelasnya saat itu sudah pandai membaca semua. Anak dipaksa untuk paham dan mengerti baca-tulis, dengan anggapan anak sudah tahu. Padahal tidak semua anak mengerti dan paham tentang baca-tulis.  Ketika kecil saya suka dengan seni seperti menggambar dan mewarnai daripada matematika dan membaca.

Ketika itu saya belum lancar abjad atau membaca, namun pada saat itu guru saya memberikan soal dengan model mendekte. Akhirnya saya mendapatkan nilai nol besar. Guru saya membuat angka nol sebesar kertas 1 lembar. Kejadian inilah yang membuat saya ingat hingga sekarang dan mungkin karena kejadian ini yang membuat saya menjadi kurang tertarik dengan literasi.

Hendaknya guru dapat memberikan pemahaman baca-tulis dengan metode yang menyenangkan. Anak belum mengerti baca-tulis namun sudah diberi soal dengan metode dekte. Namun dalam hal ini juga perlunya dukungan dan stimulasi dari orang tua untuk membantu anak mengerti dan paham tentang baca tulis.

Terdapat pula perbedaan perspektif
·         Perspektif Kesiapan Belajar (reading readiness),
Pandangan kesiapan membaca menyatakan bahwa untuk belajar membaca dan menulis anak harus mencapai usia di atas 6 tahun agar mencapai level kematangan tertentu secara fisik dan neurologis sehingga anak siap untuk menerima instruksi/pengajaran membaca dan menulis. Dengan demikian pengajaran yang dilakukan sebelum anak mencapai usia 6 tahun hanya membuang-buang waktu dan berpotensi merusak anak.

Dalam pandangan kesiapan membaca, anak harus memiliki kematangan untuk mulai belajar membaca dan menulis karena praktik pembelajarannya lebih bersifat pengajaran keterampilan baca-tulis yang tekstual dan membutuhkan keseriusan untuk memahaminya. Namun kemudian pandangan kesiapan membaca dianggap salah arah karena penelitian Marie Clay membuktikan bahwa anak sudah memiliki perilaku dan ketertarikan terhadap aktivitas literasi sejak sangat dini usia, sehingga stimulasi literasi lebih baik dioptimalkan dari sejak lahir tidak harus menunggu sampai anak memiliki kematangan neurologis untuk menerima instruksi. Selain itu stimulasi dan pengalaman terkait literasi yang kurang ternyata memperbesar risiko kesulitan belajar baca tulis pada saat mulai belajar di usia lebih dari 6 tahun.

Dalam permasalahan baca tulis saya diatas, kejadian saya mendapatkan nilai nol besar tersebut mungkin karena kesiapan belajar saya kurang. Kurangnya stimulasi dari orang tua. Orang tua saya lebih memfasilitasi saya dengan seni seperti papan tulis, kapur tulis yang berwarna-warni. Karena saya diberikan fasilotas itu maka hari-hari saya lebih senang menggambar dan mewarnai daripada baca tulis.

Untuk baca tulis itu sendiri sebenanrnya diajarkan ibu dan ayah saya secara otodidak karena saya tidak TK dan langsung masuk ke sekolah dasar. Namun tidak serius dan berkelanjutan. Mungkin karena saya nantinya akan masuk SD dan bisa diajarkan oleh guru. Namun setelah kejadian saya mendapatkan nilai nol besar, ayah dan ibu saya rutin mengajari saya baca tulis dengan metode bernyanyi dan banyak dibelikan buku cerita atau buku bergambar. Akhirnya untuk selanjutnya saya bisa lancar membaca dan tidak pernah mendapat nol besar lagi. Alhamdulillah ..J J

·         Perspektif Emergent Literacy
Pandangan emergent literacy aadalah pandangan yang menyatakan bahwa literasi berkembang secara berkelanjutan (continuum) dengan berbagai cara dan pada umur yang berbeda. Hal ini dipupuk oleh interaksi sosial antara anak dengan orang tua atau pengasuh dan dirangsang oleh materi literasi seperti buku cerita. Dengan demikian penting sekali peran dan dukungan dari orang tua dan pendidik dalam mengarahkan anak berkembang dari pura-pura membaca (emergent literacy) menuju mampu membaca sesungguhnya (Johnson, 1999).
Dalam pandangan emergent literacy, sejak lahir anak dapat distimulasi, dikenalkan, dan diberikan pengalaman yang kaya akan aktivitas literasi. Hal ini dapat dilakukan dalam kegiatan sehari-hari yang natural dan tanpa beban. Dengan demikian kemampuan literasi anak dipelajari jauh sebelum masuk sekolah, karena didapatkan dari pengalaman praktis yang bermakna, kontekstual, dan menyenangkan bagi anak. Sebagai kemampuan, emergent literacy merupakan dasar-dasar literasi yang berkembang pada usia prasekolah sebagai landasan untuk dapat menguasai kemampuan literasi sebenarnya di sekolah dasar.
Whitehurst dan Lonigen (1998 dalam Bjorklund, 2005) menjelaskan emergent literacy merupakan kemampuan literasi dasar yang terdiri dari pengetahuan, sikap dan ketarampilan yang menjadi penentu perkembangan perilaku literasi selanjutnya yang lebih baik. Menurut mereka emergent literacy (literasi dasar) terdiri dari sembilan komponen, yaitu bahasa, aturan/ketentuan/kebiasaan, pengetahuan tentang huruf, kesadaran terhadap unsur-unsur bahasa, kesesuaian fonem-grafem, pura-pura membaca (Emergent reading), pura-pura menulis (Emergent writing), motivasi dan keterampilan kognitif.

Penelitian menunjukkan dengan jelas bahwa kemampuan literasi dasar yang baik membantu anak untuk lebih mudah belajar menbaca dan meningkatkan tingkat kesuksesan anak di sekolah (Senechal & LeFreve, 2002). Hasil meta analisis yang dilakukan oleh National Early Literacy Panel (NELP) pada tahun 2008 diperoleh bahwa kemampuan dasar literasi memprediksi kemampuan literasi selanjutnya pada tingkat sedang sampai tinggi.

b)      Kembangkan salah satu dari perspektif literasi tersebut dalam strategi pembelajaran literasi (membaca atau menulis) bagi anak usia dini.
Jawab:
·         Perspektif Emergent Literacy
1.      Menyebutkan  nama-nama benda  pada setiap benda yang dia lihat dimanapun dia berada. Ucapkan nama benda itu dengan perlahan dan berulang.
2.      Banyak berbicara kepada bayi tentang apapun yang menarik untuk dibicarakan dan berikan senyum setiap selesai berbicara satu kalimat. Berikan waktu untuk anak merespon suara kita. Karena anakpun berkomunikasi dengan caranya sendiri.
3.      Nyanyikanlah lagu-lagu yang baik untuk didengar anak, misalnya yang bertema ketuhanan,keindahan alam dan hal-hal yang menyenangkan.
4.      Bacakan buku cerita secara rutin setiap hari untuk menstimulasi penglihatan, pendengaran dan kedekatan emosional  antara ibu dan anak atau antara anggota keluarga yang lain. Dengan menciptakan lingkungan rumah yang kondusif (modelling) anak dapat melihat bahwa orang dewasa asyik dengan kegiatan membaca buku karena anak adalah peniru ulung.
5.      Banyak lakukan kegiatan klasifikasi (pengelompokan) benda-benda. Dapat dimulai dengan mengklasifikasi benda miliknya dan benda yang bukan miliknya, lalu meningkat mengklasifikasi benda-benda menarik lainnya.
6.      Ketika anak mulai memiliki ketertarikan pada huruf, menurut  pakar pendidikan, anak akan sangat tertarik pada huruf pertama dari namanya. Seperti misalnya W untuk Winarti. Setiap kali melihat huruf W,  Winarti akan sangat senang dan berkata “ini huruf ku.” Berikan kesempatan anak mencari dan menemukan huruf W dari  buku cerita dan dari lingkungan dimanapun dan kapanpun ditemukan keaksaraan.
7.      Setelah puas menikmati huruf pertama dari namanya, anak akan melanjutkan ketertarikannya pada huruf-huruf lain masih pada namanya, nama anggota keluarga dan teman-teman.
8.      Lanjutkan petualangan membaca dan menulisnya dengan memberikan buku-buku bacaan yang tepat dan benar sehingga selain meningkatkan kecerdasan bahasanya, kognisi anak pun berkembang.
9.      Jadikan pengalaman keaksaraan menyenangkan. Bawakan kertas, buku dan alat tulis kemanapun kita pergi. Berikan banyak kegiatan bermain yang dapat meningkatkan kemampuan keaksaraannya seperti menggambar, melukis, membuat karya  sehingga jari-jarinya terlatih dan kelak siap untuk memegang alat tulis dengan nyaman dan benar.
10.  Buku bacaan dan mainan edukatif hanyalah benda yang tidak akan memberikan banyak manfaat apabila tanpa pendampingan dari orang dewasa. Dan pendampingan yang bermutu hanya didapat dari orang dewasa yang mengerti bahwa pendidikan akan berhasil apabila semua kegiatan dilakukan dengan terarah dan dalam suasana happy learning.

Semoga dengan pengembangan seperti yang diatas. Perkembangan baca tulis anak akan berkembang dengan baik dan dapat menjadi anak yang cinta akan literacy karena masih banyak anak Indonesia yang belum sadar akan pentingnya membaca.
REFERENSI

Pradipta, Galuh. Keterlibatan Orang Tua Dalam Proses Mengembangkan Literasi Dini Pada Anak Usia Paud Di Surabaya. Online http://journal.unair.ac.id/filerPDF/lnbd9d5ce375full.pdf. Diunduh tanggal 9 Mei 2015. Pukul 07.05 WIB.
Online http://repository.upi.edu/6971/4/S_PAUD_1007849_Chapter1.pdf. Diunduh tanggal 9 Mei 2015. Pukul 07.10 WIB.
Melinda, Dewi. ______. Online https://www.academia.edu/5416681/DAP_-_BAB_14. Diunduh tanggal 9 Mei 2015. Pukul 07.08 WIB.
Musfiroh, Tadkiroatun. 2009. Menumbuhkembangkan Baca-Tulis Anak Usia Dini. Jakarta. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Soebadi, Amanda. 2013. Perkembangan Literasi Anak. Online http://idai.or.id/public-articles/klinik/pengasuhan-anak/perkembangan-literasi-anak.html. Diunduh tanggal 9 Mei 2015. Pukul 07.10 WIB.
Burns, Paul C. dkk. 1996. Teaching Reading in Today’s Elementary Schools. Boston: Hunghton Mifflin Company.
Gipayana, Muhana. 2004. Pengajaran Literasi dan Penilaian Portofoloio dalam Konteks Pembelajaran Menulis. Jurnal Ilmu Pendidikan, 11(1): 59 – 70.
Suyoto.(2010). “Galakkan Baca Buku untuk Kemajuan Bangsa”, Media Indonesia, Mei, p.12.
Musfiroh, Tadkiroatun. 2009. Menumbuhkembangkan Baca-Tulis Anak Usia Dini. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Musfiroh, Tadkiroatun. 2009. Uji Produk Model Baca-Tulis Akuisisi Literasi Pada Paud - Kb - Tk Di DIY. Volume 39, Nomor 1, Mei 2009, hal. 27-40. Online http://journal.uny.ac.id/index.php/jk/article/download/228/141. Diunduh tanggal 9 Mei 2015. Pukul 07.15 WIB.

1 komentar: